Masjid Muhammadan Padang
Simbol Harmonisasi Kota Padang
Masjid Muhammadan Padang |
Vihara dan tempat kremasi mayat milik komunitas Tionghoa tak jauh dari lokasi masjid tua yang dibangun pedagang Gujarat sekitar 200 tahun yang lalu itu. Mereka yang berbeda budaya, agama dan etnis hidup berdampingan tanpa ada gesekan.
Kehadiran masjid yang berada di Kawasan Pasar Batipuah, Kecamatan Padang Selatan, Kota Padang yang diberi nama Masjid Muhammadan itu merupakan bukti nyata harmonisasinya Kota Padang, tepatnya di Kampung Percinaan (Pondok).
Meskipun lokasi itu dinamai Kampung Pecinaan, masyarakat berbagai latar belakang, baik budaya, agama dan etnis selalu hidup rukun, dan keberadaan Masjid Muhammadan di lokasi itu tidak lepas dari peranan masyarakat keturunan India yang datang dan menetap di Ranah Minang.
Masjid Muhammadan ukurannya tak sebesar masjid tua yang lain di Kota Padang, layaknya Masjid Raya Gantiang. Meskipun demikian, Masjid Muhammadan memiliki bentuk arsitektur khas, perpaduan arsitektur India dan Islam. Posisi masjid juga cukup unik. Pada bagian depan masjid terdapat teras yang biasa digunakan untuk berbagai aktivitas keagamaan.
Catatan dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatera Barat, masjid itu dibangun pertama kali tahun 1792, berbentuk surau kecil dengan bahan dasar terbuat dari kayu. Lalu, seiring perkembangan zaman, masjid itu mulai direnovasi hingga menjadi Masjid Muhammadan seperti sekarang ini. Lalu, sumber lain juga ada menyebutkan, bahwa masjid itu dibangun pertama kali tahun 1723.
Namun, tak ada kepastian ataupun sumber tertulis lainnya kapan masjid itu sebenarnya mulai didirikan. Hingga saat ini, Masjid Muhammadan masih terjaga keasliannya. Tidak banyak perubahan pada bangunan masjid. Hanya beberapa renovasi dan perbaikan kecil yang dilakukan agar masjid tetap nyaman digunakan.
Jika menelusuri pada bagian dalam masjid, sekilas terlihat seperti musala biasa. Namun, jika diperhatikan dari beberapa sudut, akan terlihat unsur khas India, seperti pada bagian depan masjid, kaca jendela dan langit-langit masjid.
Bagian yang memperlihatkan arsitektur India tentunya pada bagian depan masjid, jika dilihat dari sisi luar, kita akan membayangkan bentuk menyerupai bangunan arsitektur india, dengan campuran ornamen dan gaya hiasan pada teras depannya. Masjid Muhammadan berwarna dominan hijau muda. Bangunannya sudah banyak mengalami perubahan dan penambahan ruang.
Bagian yang masih dipertahankan hanya pada bagian serambi depan dan ruang utama untuk shalat laki-laki. Sedangkan bagian dalam, sudah mengalami perubahan dan sudah dipasang keramik. Di dalam ruangan utama juga terdapat empat buah tiang penyangga.
Di depan mesjid terdapat dua buah pilar besar dengan tujuh buah pilar kecil di sepanjang serambi depan. Lalu, di dinding luar bagian atas masjid tertulis angka tahun arab 9-12-1343 H. Inskripsi ini ditulis dengan huruf arab dan ditulis dalam bidang segi empat yang terbuat dari marmer, di atasnya terdapat tulisan arab yang berisi syahadat.
Oleh karena bentuk inskripsi ini masih baru dan kalau dihitung baru 88 tahun, maka inskripsi tanggal tersebut diduga merupakan tanggal renovasi masjid dari bahan kayu menjadi tembok. Salah satu tradisi yang paling unik di Masjid Muhammadan adalah Serak Gulo. Sebuah tradisi menyerakkan (membagi-bagikan) gula oleh masyarakat India Kota Padang untuk berbagai rezeki dengan masyarakat sekitar.
Tradisi itu sudah berlangsung cukup lama, dan kini telah menjadi kalender event Pariwisata Kota Padang. Ratusan bahkan mencapai ribuan masyarakat berbondong-bondong mengikuti event tahunan di Masjid Muhammadan tersebut. Para penyerak gula akan menaiki atap masjid Muhammadan yang berupa atap teras depan masjid.
Para peserta menunggu di depan masjid atau jalan raya yang terdapat di bagian depan masjid. Tradisi tersebut banyak menarik minat masyarakat, selain untuk mendapatkan limpahan berkah berupa gula pasir, mereka juga antusias hanya sekedar untuk memeriahkan acara tersebut. Tradisi ini berlangsung 1 Jumadil Akhir setiap tahunnya.
Masjid Muhammadan seakan menjadi representasi harmonisasi di Ranah Minang. Sebagaimana yang diungkapkan Sosiolog Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang, Muhammad Taufik, ia menilai Masjid Muhammadan seperti candradimuka, karena menjadi pusat penggemblengan agama Islam. Artinya, komunitas di sana lebih cenderung untuk peningkatan individu, tidak bicara soal politik. Lebih kepada aspek amal ma’ruf, mengajak orang berbuat baik. (ZE) Langgam.id